Kabar reshuffle kabinet berembus lagi setelah Jokowi mengungkapkan kekesalan akibat masih banyaknya belanja barang dan jasa pemerintahan yang menggunakan menggunakan produk impor. Belum lagi masalah yang berkaitan dengan minyak goreng hingga bahan bakar minyak (BBM).
Saat ditemui di Kompleks Parlemen, Senayan, beberapa waktu lalu, Menteri Sekretaris Negara Pratikno tidak membantah atau pun mengiyakan soal rencana reshuffle kabinet yang diisukan akan dilaksanakan pada 15 Juni 2022. Hanya saja, dia mengakui, adanya banyak masalah harus diselesaikan.
Jokowi pun sudah merespons isu reshuffle kabinet. Jokowi mengungkap jawaban atas isu tersebut kepada wartawan usai menonton gelaran Formula E di Ancol, Jakarta, Sabtu (4/6/2022).
"Balapan sampe reshuffle. Urusan balapan ajalah," katanya.
Ketika wartawan mencoba memastikan apakah perombakan kabinet jadi dilakukan, Jokowi mengatakan "(Jadi?) Balapan baru selesai."
Direktur Eksekutif Poligov Muhammad Tri Andika bilang reshuffle kabinet pasti akan dilakukan oleh Jokowi.
"Berkaca dari periode pertama, Pak Jokowi melakukan reshuffle lebih dari lima kali. Hampir setiap tahun ada reshuffle," katanya kepada CNBC Indonesia, kemarin.
"Di periode kedua, tahun 2022 ini juga pasti ada reshuffle. Tinggal waktu saja. Apalagi, dari dalam istana sudah mulai bicara isu reshuffle. Jadi, sepertinya tinggal menunggu waktu," lanjutnya.
"Pertama membenahi kinerja menteri yang buruk. Terutama kalau kita lihat kasus minyak goreng dan sawit yang sampai membuat presiden 'babak belur' dan masyarakat kecewa," ujarnya.
"Kedua, reshuffle dilakukan untuk menertibkan menteri-menteri dari parpol yang sudah sibuk pencitraan, tidak konsentrasi pada kinerja kementeriannya," lanjutnya.
Reshuffle kabinet, menurut Andika, juga dilakukan untuk mengakomodasi Partai Amanat Nasional (PAN) yang sudah bergabung ke dalam koalisi pemerintahan.
Peneliti Departemen Politik dan Perubahan Sosial di Center for Strategic and International Studies (CSIS) Arya Fenandes menilai reshuffle kabinet membutuhkan momentum dan waktu yang pas untuk dilakukan. Hal tersebut tidak mudah mengingata ada implikasi-implikasi politik yang memang sangat dipertimbangkan.
"Implikasinya misalnya terkait bagaimana hubungan di internal koalisi," ujar Arya menjawab pertanyaan CNBC Indonesia dalam media briefing CSIS kemarin.
Implikasi kedua, menurut dia, terkait power sharing yang dilakukan.
"Siapa masuk, siapa keluar, siapa yang dirotasi, siapa yang di-reshuffle dan segala macam," kata Arya.
Sedangkan implikasi ketiga terkait psikologi pemilih atau publik. Karena ketika reshuffle kabinet dilakukan, akan memengaruhi respons publik terhadap nama-nama yang diusulkan atau nama-nama yang dirotasi.
"Jadi tiga implikasi itu saya kira dipertimbangkan betul oleh presiden sehingga kemudian reshuffle-nya itu seperti maju mundur gitu. Karena presiden sadar betul bahwa ada risiko-risiko, implikasi-implikasi yang akan terjadi ketika reshuffle dilakukan," ujar Arya.
"Dan untuk itu presiden saya kira mempertimbangkan itu dan butuh waktu juga untuk melakukan pembicaraan atau 'negosiasi' dengan partai-partai," lanjutnya.
Arya menilai reshuffle kabinet tidak berhubungan dengan manuver partai-partai koalisi pemerintahan jelang Pemilihan Umum 2024. Misalnya Partai Golongan Karya (Golkar), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Partai Amanat Nasional (PAN) yang sudah membentuk Koalisi Indonesia Bersatu (KIB).
"Saya kira tidak juga. Karena isu reshuffle-nya sudah lama. Saya kira memang presiden belum menemukan waktu yang tepat saja dan mungkin masih ada risiko-risiko atau implikasi-implikasi yang masih diperhitungkan oleh presiden," kata Arya.
"Kenapa kemudian isu reshuffle yang sudah berembus pada awal tahun lalu, akhir tahun lalu, itu tak kunjung dilakukan. Saya kira presiden memikirkan dampak buruk dan baiknya ketika reshuffle dilakukan. Itu membuat reshuffle masih maju mundur," lanjutnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar