Lagu dangdut koplo Ojo Dibandhingke yang lagi nge-hits itu menerobos Istana Negara dalam Upacara Peringatan Detik-detik Proklamasi Kemerdekaan ke-77 RI (17/8). Lewat lantunan suara penyanyi bocah Farel Prayoga, lagu itu tak hanya mencairkan suasana tapi juga mampu membuat Presiden Joko Widodo tersenyum dan tampak semringah (berwajah cerah). Para menteri dan pejabat negara pun ikut berjoget. Tanpa mengurangi kekhidmatan acara, peringatan 17-an pun terkesan tidak elitis, tapi populis.
Masuknya lagu pop berlirik bahasa Jawa yang melankolis dalam deretan mata acara resmi kenegaraan itu bak ledakan mercon yang mampu memecah kesakralan Istana Negara. Ia menjadi semacam subversi kebudayaan, di mana musik pop dangdut koplo yang selama ini distigmatisasi sebagai seni kelangenan (kitch) rakyat mendapat ruang di level kalangan elite politik, ekonomi dan kekuasaan. Mereka ini sering dinilai mengutamakan budaya tinggi atau budaya tradisi dan klasik.
Disebut subversi budaya, karena lantunan lagu itu dihadirkan sebagai versi yang berbeda di tengah versi dominan khas perhelatan kenegaraan. Misalnya narasi-narasi, ode, lagu, dan pidato yang serba resmi: memuja Tanah Air, remix lagu-lagu daerah, tarian dari budaya lokal dan wacana kesuksesan pembangunan. Semua itu sering dipahami sebagai representasi tentang keindonesiaan yang "baku" atau arus utama (mainstream). Ini terjadi sejak era Orde Lama, Orde Baru dan masa-masa awal Orde Reformasi.
Musik dangdut koplo (sub aliran musik dangdut) bisa disebut sebagai anak kebudayaan massa atau budaya populer yang mengutamakan hiburan. Muncul pada era awal 2000-an di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan DIY, irama dan nada musik ini sederhana tapi dinamis, pas untuk goyang atau joget. Lirik-liriknya ringan, umumnya soal patah hati atau kesengsaraan hidup. Ini tak beda dengan musik dangdut.
Para pelaku dan konsumen dangdut koplo umumnya kalangan marjinal yang sarat dengan kesulitan hidup. Karena itu, jenis musik ini bisa disebut musik rakyat. Seiring masifnya hadir di tengah publik, kalangan menengah pun mulai tertarik pada dangdut koplo.
Presiden Jokowi dalam perhelatan itu tampak senang dan tersenyum. Secara semiotik, senyum Jokowi memberikan tanda atas beberapa pesan tersirat. Pertama, pemerintah mencoba menciptakan kesan dan pesan bahwa Istana Negara merupakan entitas politik-kekuasaan yang terbuka bagi berbagai jenis seni dan budaya.
Sosok negara coba dibuat tidak angker, tapi ramah bagi semua ekspresi kultural rakyat. Pemerintah menunjukkan komitmennya pada kemajemukan budaya. Budaya homogen, termasuk yang bercorak kerakyatan pun diberi ruang untuk hadir dan berekspresi. Kesenian ringan dan sarat hiburan layak bersanding dengan kesenian adiluhung yang sophisticated alias rumit dan sarat nilai-nilai ideal.
Kedua, ada upaya negara untuk bisa semakin dekat dengan rakyat. Istana Negara adalah entitas kebangsaan sekaligus ruang publik yang inklusif, bukan eksklusif yang didominasi kalangan priyagung atau elite politik, sosial, ekonomi dan budaya. Upaya ini membangun kesan bahwa antara pemerintah dan penyelenggara negara tidak ada jarak sosial, politik dan kultural dengan masyarakat, seperti yang selama ini sering jadi rerasanan publik.
Ketiga, dampak yang diharapkan dari upaya ini adalah harapan atas semakin menguatnya kepercayaan publik terhadap pemerintah dan penyelenggara negara.
Sejak Era Gus Dur
Desakralisasi Istana Negara yang terjadi pada rezim Jokowi bukan yang pertama. Jauh sebelumnya Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sudah melakukannya. Gus Dur yang punya visi kebangsaan kuat membuka Istana Negara bagi semua kalangan masyarakat. Kawan-kawan Gus Dur, para agamawan, cendekiawan, budayawan, seniman, mahasiswa dan kalangan profesional lainnya sering sonjo atau berkunjung ke Istana Negara untuk sekadar ngopi dan ngobrol.
Semua prosedur protokoler coba dicairkan demi menjadikan Istana Negara ruang publik. Sikap kenegarawanan Gus Dur mendudukkan kekuasaan tidak sakral dan bisa disentuh. Gus Dur menjadikan Istana Negara ruang inklusif bagi semua golongan, agama, budaya, politik dan ras. Ia mengelola kekuasaan secara serius tapi rileks. Bahkan ketika lengser dari tampuk kekuasaan pun, meninggalkan Istana Negara dengan kostum sehari-hari: kaos dan celana pendek.
Kembali ke soal dangdut koplo di Istana Negara. Berhasilkah pemerintah Jokowi menanamkan semua kesan kebaikan dan kedekatan pada rakyat di benak publik? Hal itu masih harus dibuktikan dalam proses yang panjang. Tentu, di tengah kesulitan hidup, rakyat tak cukup hanya diberi "kembang gula" semacam hiburan dangdut koplo. Rakyat lebih membutuhkan berbagai perwujudan kebijakan yang menyuburkan keadilan dan kesejahteraan. Dangdut koplo tak lebih dari pelengkap.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar