Kamis, 29 Desember 2022

FOOD ESTATE WUJUDKAN KEDAULATAN INDONESIA DI BIDANG PANGAN

Pandemi Covid-19 yang terjadi awal tahun 2020 lalu telah menyebabkan krisis pada berbagai sektor, baik di tingkat nasional maupun internasional. Salah satu sektor yang rawan mengalami krisis akibat pandemi adalah sektor pangan (Basundoro  dan Sulaeman,  2020). Dampak pandemi terhadap sektor pangan utamanya terjadi pada rantai suplai dan permintaan terhadap pangan tersebut.

Schmidhuber (2020) menjelaskan bahwa efek pandemi terhadap rantai suplai pangan terutama terjadi pada negara berpenghasilan rendah dan negara yang bergantung dari sektor impor tanaman pangan. Hal ini salah satunya disebabkan karena negara yang sebelumnya menjadi penyuplai pangan harus melakukan lockdown sehingga mempengaruhi ketersedian pangan dari hasil pertanian dan industri bagi negara-negara pengimpor pangan (FAO, 2020).

Bukan hanya berdampak pada rantai suplai dan ketersediaan pangan, Badan Pangan Dunia yakni FAO menjelaskan bahwa pandemi juga berdampak pada menurunnya permintaan akan pangan tersebut. Hal ini dapat terjadi karena jumlah pengangguran yang meningkat selama pandemi sehingga daya beli masyarakat terhadap komoditas pangan pun ikut menurun.

Menanggapi isu kerentanan pada sektor pangan akibat pandemi, FAO memproyeksikan bahwa pasokan pangan dunia dikhawatirkan akan mengalami krisis apabila kondisi ini masih belum dapat ditangani dengan segera (Yestati dan Noor, 2021).

Food estate sebagai sebuah solusi

Pemerintah Indonesia tidak tinggal diam dalam menghadapi isu kerentanan pangan dan kekhawatiran FAO terhadap dampak pandemi Covid-19. Pemerintah pun akhirnya mewujudkan pelaksanaan program food estate untuk memaksimalkan produksi komoditas pertanian Indonesia. Pelaksanaan food estate merupakan sebuah strategi yang dicanangkan mampu mewujudkan ketahanan pangan nasional (Basundoro  dan Sulaeman, 2020).

Program food estate sendiri diharapkan dapat memenuhi dimensi ketahanan pangan yang berdasarkan publikasi FAO (2008) terdapat empat dimensi. Dimensi ketahanan pangan tersebut meliputi ketersediaan pangan, akses pangan, penggunaan pangan, dan stabilitas pangan.

Ada tiga wilayah yang dipilih sebagai lokasi implementasi dari food estate. Ketiga wilayah ini mencakup Provinsi Kalimantan Tengah, Provinsi Sumatera Utara, dan Provinsi Nusa Tenggara Timur. Pada ketiga wilayah inilah produktivitas sektor pertanian berusaha untuk ditingkatkan guna mencukupi kebutuhan pangan nasional.

Kekhawatiran terhadap dampak food estate

Pelaksanaan food estate justru dikhawatirkan akan menimbulkan dampak negatif, baik terhadap lingkungan maupun pada masyarakat yang tinggal di sekitar lokasi implementasi food estate. Hal ini misalnya dapat ditinjau dari implementasi food estate di Kalimantan Tengah yang berakibat pada rusaknya fungsi dan ekosistem lahan gambut di lokasi pengembangan program tersebut. Degradasi lahan gambut juga berakibat pada lahan gambut yang lebih rawan mengalami kebakaran (Baringbing, 2021).

Lebih lanjut, Yestati dan Noor (2021) menjelaskan bahwa masyarakat lokal belum terlibat secara maksimal pada pelaksanaan program food estate. Selama ini masyarakat lokal hanya berpartisipasi dalam pelaksanaan program melalui korporasi petani. Namun hal ini pun masih belum maksimal dan belum terlihat efektif.

Kekhawatiran lainnya dapat ditinjau dari hasil penelitian Evi (2021) yang menjelaskan bahwa program food estate muncul ke permukaan sebagai pertarungan narasi untuk merebut ruang “kekuasaan” dan kepentingan. 

Pada satu sisi, kepentingan pemerintah yang berkiblat pada modernisasi, pembangunan dan kemajuan. Sementara itu, di sisi lain, berhadapan dengan kepentingan masyarakat yang lebih mengacu pada isu terkait lingkungan hidup, kepentingan lokal, serta masyarakat adat. Sayangnya, narasi pertarungan diksi-diksi ini seolah melupakan bagian-bagian kecil dan lokal seperti nasib para peladang perempuan.

Hasil produksi food estate

Dilansir dari laman indonesia.go.id, program food estate di tiga lokasi implementasinya sudah memasuki masa panen. Salah satu wilayah yang menjadi lokasi food estate yakni Provinsi Kalimantan Tengah bahkan dilaporkan berhasil mendorong hasil panen padi yang mencapai 4 ton per hektar sawah. Menurut Menteri Yasin Limpo, hal ini merupakan sebuah bukti dari keberhasilan food estate karena biasanya hasil panen hanya mencapai 3,2 ton per hektar sawah.

Akan tetapi, jika ditinjau dari data yang dimuat dalam laman Badan Pusat Statistik (BPS) maka tidak terdapat kenaikan yang signifikan terhadap hasil produksi padi selama periode tahun 2019, 2020, dan 2021. Bahkan, terdapat kecenderungan penurunan hasil produksi padi secara nasional pada periode tahun tersebut.

Pada tahun 2019 produksi padi secara nasional mencapai jumlah 54.604.033,34 juta ton dalam setahun. Angka ini sempat naik pada tahun 2020, yaitu mencapai produksi 54.649.202,24 juta ton padi. Namun, terjadi penurunan pada tahun selanjutnya yakni tahun 2021 yang dalam hal ini produksi padi nasional berkisar 54.415.294,22 juta ton dalam setahun.

Berbagai kekhawatiran yang muncul terhadap pelaksanaan food estate dan ditambah dengan fakta bahwa belum terdapat kenaikan yang signifikan terhadap produksi pangan secara nasional mendorong munculnya spekulasi dan pertanyaan.

Berdasarkan apa yang telah dijelaskan sebelumnya maka pertanyaan yang kemudian muncul adalah benarkah food estate telah menjadi solusi bagi ketahanan pangan nasional? Pertanyaan selanjutnya, siapakah yang kemudian menerima manfaat dari program yang dicanang-canangkan sebagai lumbung pangan nasional ini?

Jangan-jangan food estate hanya akan mengulang kegagalan yang sama seperti program-program pendahulunya, sebut saja Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) yang pernah diterapkan di Papua.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

EXIT POLL LUAR NEGERI! GANJAR MENANG SATU PUTARAN DI AUSTRALIA & AMERIKA

Viral di grup WhatsApp hasil exit poll Pilpres 2024 dimana pasangan Capres dan Cawapres nomor urut 3 Ganjar Pranowo dan Mahfud MD menang. Ha...