Sejumlah pegiat media sosial yang mengatasnamakan diri Ganjarian Spartan menggelar deklarasi dukungan kepada Ganjar Pranowo sebagai calon presiden pada Pilpres 2024.
Beberapa nama seperti Ade Armando, politikus PSI Guntur Romli, Eko Kuntadhi, hingga Denny Siregar, tergabung di dalamnya.
Dalam tiga tahun terakhir nama-nama itu cukup populer di media sosial, terutama karena kerap di barisan paling depan membela kebijakan pemerintah di bawah Presiden Joko Widodo. Kini, mereka membentuk kelompok relawan dan mengatasnamakan diri sebagai para spartan.
Merujuk Kamus Besar Bahasa Indonesia atau KBBI, spartan diartikan sebagai orang yang tegas, berani dan memiliki disiplin tinggi. Istilah itu merujuk pada orang-orang yang tinggal di kota Sparta, Yunani kuno sekitar 400 SM.
Para spartan mengabdikan diri untuk berperang. Mereka mengenal istilah datang kembali dengan perisai atau lebih dari itu, yang berarti jangan kembali kecuali menang.
Pada 2012, saat masih menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta, Jokowi sempat menyatakan dirinya sebagai spartan, atau sebagai orang yang gila bekerja dan tak mengenal waktu.
"Kenapa nama spartan? Kita pakai karena kata spartan lebih bertenaga daripada relawan, tak kenal henti pada loyalitas pada kesetiaan, yakin penuh percaya diri," ucap Guntur Romli selaku ketua kelompok tersebut.
Apakah dukungan Ganjarian Spartan menjadi sinyal dukungan Jokowi kepada Ganjar?
Pengamat politik dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Wasisto Jati menilai anggapan deklarasi Ganjarian Spartan terhadap Ganjar sebagai sinyal dukungan Jokowi terlalu jauh. Wasis justru khawatir dukungan tersebut malah menjadi bumerang bagi kader PDIP tersebut.
Menurutnya, deklarasi terhadap Ganjar malah bisa berpotensi kembali menimbulkan friksi di internal PDIP. Terlebih, Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri beberapa kali sudah menegaskan urusan pencalonan presiden merupakan hak mutlak dirinya.
"Apalagi kemarin ketika di momen ultah, Megawati sudah menegaskan kalau nominasi capres adalah urusan ketum," kata Wasis kepada CNNIndonesia.com, Rabu (18/1).
Dia meyakini deklarasi tersebut dilakukan hanya untuk menaikkan nilai tawar politik Ganjar. Sebab, semakin tinggi nilai tawar, potensi Ganjar untuk mendapat tiket pencalonan dari PDIP semakin besar.
"Yang bisa tangkap adalah mereka tentu berupaya menaikkan daya tawar politik GP (Ganjar Pranowo) lewat deklarasi seperti itu, agar kalau semakin kuat vibrasi dukungan tersebut, bisa mendapat tiket nominasi parpol," katanya.
Pakar komunikasi politik dari Universitas Multimedia Nusantara (UMN) Silvanus Alvin juga meyakini dukungan para spartan politik terhadap Ganjar sebagai desakan kepada Mega untuk memilih Ganjar di 2024. Menurut dia, Ade Armando Cs hanya tengah mengulang kisah pencalonan Jokowi pada 2014.
Menurut Alvin, setidaknya ada dua faktor Jokowi bisa dipilih oleh Mega pada 2014 untuk maju sebagai capres. Pertama, menampilkan sosok sederhana; kedua, populer dan tingkat elektabilitas tinggi.
Menurutnya, dua faktor itu yang kini tengah coba diulang oleh Ganjar.
"Dengan demikian keberadaan para spartan tersebut sebagai pressure power kepada pemegang tiket yakni Megawati. Saya melihat tujuan akhir dari deklarasi ini adalah mengulang kisah Jokowi," ucapnya.
Alvin juga tak yakin deklarasi para spartan politik segaris dengan dukungan Jokowi kepada Ganjar. Sebab, hal itu menurut dia harus dibuktikan. Apalagi Jokowi menurutnya juga tegas tak mau ikut campur soal pencalonan presiden.
Menurut Alvin, Jokowi saat ini justru terlihat hanya ingin agar akhir masa jabatannya berakhir baik, dan pelaksanaan pemilu tak menimbulkan polarisasi di tengah masyarakat.
"Fokus Jokowi saya lihat ada pada transisi pemerintahan yang mulus dengan cara menjaga proses pemilu
Namun, Alvin juga mengingatkan Ganjar supaya tidak terlalu berambisi soal dukungan para kelompok relawannya di luar partai. Menurut dia, dukungan relawan justru bisa menimbulkan citra negatif jika direspons secara berlebihan.
Di sisi lain, Alvin menilai Ganjar juga perlu menunjukkan sikap tegas: apakah dirinya bersedia atau menolak jika dicalonkan maju. Menurutnya, sikap itu perlu agar tak menimbulkan ketegangan di internal PDIP.
"Memang secara keilmuan, komunikasi Indonesia dikenal sangat high context yang dapat menimbulkan beragam makna. Di sini perlu ketegasan low context mau maju atau tidak maju," katanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar