Kantor Staf Presiden atau KSP menginginkan konsep Literasi Keagamaan Lintas Budaya alias LKLB diterapkan secara wajib di seluruh sekolah di Indonesia. Salah satunya dengan menyelipkan cerita soal keberagaman agama dalam pembelajaran.
Contohnya saat guru sedang mengajar pelajaran matematika. Guru tersebut bisa menjadikan konsep LKLB sebagai entry point alias pintu masuk ketika memberikan soal cerita ke anak muridnya.
"Di kampung ada 10 orang pergi ke gereja, 25 orang pergi ke masjid, lalu sekian ke Pura, dan lainnya. Tujuannya agar anak-anak sensitif terhadap perbedaan dan melihatnya sebagai keniscayaan,” kata Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden atau KSP Siti Ruhaini Dzuhayatin dalam keterangan tertulis, Sabtu, 18 Maret 2023.
Ruhaini menjadi satu dari 42 juru bicara KSP, yang mengampu bidang Hak Asasi Manusia (HAM) dan isu luar negeri, yang baru-baru ditetapkan oleh Kepala Staf Presiden Moeldoko. Adapun pernyataan tersebut disampaikan Ruhaini dalam lokakarya guru lintas agama mengenai LKLB yang diadakan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia bersama Institut Leimena.
Kegiatan yang digelar di Semarang, Jawa Tengah, Jumat, 17 Maret 2023 ini diikuti guru beragama Islam dan Kristen, yang sebagian besar merupakan guru madrasah di bawah Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Tengah dan para guru dari Sekolah Kristen Tritunggal Semarang.
Guru Besar HAM dan Gender dari Universitas Islam Negeri atau UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, ini menilai pembelajaran di sekolah perlu mengedepankan sensitivitas terhadap hak kebebasan beragama dan supremasi hukum. Lantaran, tantangan untuk menjaga kemajemukan bangsa semakin kompleks.
Terutama dengan dengan masifnya media sosial yang berpotensi sebagai sarana menyuburkan diskriminasi dan stigmatisasi. Guru, kata dia, perlu mewaspadai gejala intoleransi yang kadang dianggap lazim dalam kehidupan masyarakat.
Ruhaini kemudian mengutip dokumen badan PBB untuk pendidikan, sains, dan budaya yaitu UNESCO dalam dokumen berjudul Tolerance: The Threshold of Peace. Dokumen ini menyatakan sejumlah gejala atau perliaku intoleransi.
Pertama bahasa seperti penghinaan atau bahasa yang merendahkan, stereotip, menggoda atau mengejek, prasangka, pengkambinghitaman alias menyalahkan peristiwa traumatis atau masalah sosial pada kelompok tertentu. Kedua pengasihan seperti berperilaku seolah-olah orang lain tidak ada).
Ketiga diskriminasi. Keempat yaitu segregasi seperti pemisahan paksa orang-orang dari berbagai ras, agama, jenis kelamin, biasanya merugikan satu kelompok termasuk apartheid.
Untuk itulah, Ruhaini ingin pemanfataan yang sama antara agama dan keyakinan, gender, dan ras berbeda di ruang publik. "Ini penting sekali kita sampaikan kepada anak-anak didik kita,” kata mantan Staf Khusus Presiden Joko Widodo Bidang Keagamaan Internasional ini.
Ruhaini menyebut upaya menumbuhkan sensitivitas ini bisa dimulai dengan mengembangkan kemampuan guru dalam LKLN. Pertama, mendorong seseorang memahami agamanya sendiri terutama dalam relasinya dengan orang yang berbeda agama.
Kedua, mengenal agama lain dan pandangan agama tersebut terhadap orang yang berbeda agama. Ketiga, mencari titik temu agar dapat berkolaborasi dengan orang yang berbeda agama. Meski demikian, Ruhaini menegaskan kebebasan beragama bukan berarti bebas seenaknya melainkan harus berpedoman kepada supremasi hukum.
Direktur Penguatan dan Diseminasi Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan HAM Sri Kurniati Handayani Pane meminta agar guru mendorong kesadaran multikultural. Caranya dengan membangun semangat empati, kesetaraan, dan toleransi kepada peserta didik.
Sri menekankan setiap orang dengan latar belakang apapun memiliki persamaan dalam haknya sebagai warga negara. Menurut dia, tidak boleh satu kelompok mendominasi dan melanggar hak kelompok yang lainnya. Kelompok mayoritas tidak boleh melakukan hegemoni kepada kelompok minoritas.
"Semua ini menjadi penting dalam pendidikan sehingga tidak ada diskriminasi atas dasar ras, etnis, agama maupun gender,” ujar Sri Pane.
Direktur Eksekutif Institut Leimena, Matius Ho menjelaskan lokakarya LKLB di Semarang ini adalah kegiatan keenam yang diadakan pihaknya bersama sejumlah mitra. Lokakarya kali ini berfokus kepada program dan rencana pelaksanaan pembelajaran atau RPP untuk memperkukuh kebebasan beragama dan supremasi hukum.
“Bapak ibu guru di sini adalah lilin-lilin agar kita bisa bersama-sama menerangi bangsa ini kepada penegakkan hukum,” kata Matius.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar