Joko Widodo – yang dikenal dengan nama Jokowi - dikenal sebagai figur yang sederhana, dekat dengan rakyat, dan bersih dari korupsi.
Ketiga hal itu tampak dalam jejak rekamnya saat memimpin Kota Solo dan DKI Jakarta.
Pria kelahiran Solo, 21 Juni 1961 itu memulai karier politiknya dengan menjadi Wali Kota Solo, Jawa Tengah, pada 2005, dengan diusung PDI Perjuangan.
Lima tahun kemudian, dia kembali terpilih sebagai wali kota dengan perolehan suara lebih dari 90%.
Selama menjadi wali kota, Jokowi merenovasi pasar tradisional dan merelokasi warga miskin dari bantaran sungai ke tempat tinggal yang layak.
Pengamat mengatakan langkah tersebut mampu ditempuh Jokowi mengingat semasa kecil dia tinggal di bantaran kali dan pernah digusur oleh pemerintah lokal.
Perilaku berempati dan dekat dengan masyarakat kembali dibuktikan saat Jokowi maju dalam pilkada Jakarta dan terpilih sebagai gubernur ibu kota pada 2012 lalu.
"Demokrasi bagi saya adalah mendengarkan masyarakat, melaksanakan apa yang mereka inginkan," kata dia dalam debat pertama yang ditayangkan televisi.
"Itu sebabnya kenapa saya pergi ke kampung-kampung, pasar-pasar, bertemu masyarakat di bantaran kali, petani dan nelayan, karena saya ingin mendengarkan apa yang masyarakat inginkan."
Metode Jokowi untuk dekat dengan masyarakat mempopulerkan istilah blusukan, yaitu kunjungan spontan ke kampung-kampung guna berdialog dengan masyarakat dan melihat aktivitas mereka.
Jokowi juga menyatakan pembangunan karakter bangsa tersebut dapat dilakukan melalui pendidikan.
Untuk mendukung pengembangan sektor pendidikan dan kesehatan, Jokowi mengatakan akan membuat program Kartu Indonesia Sehat dan Kartu Indonesia Pintar, seperti yang pernah dilakukan di DKI Jakarta.
Jokowi juga mengatakan dia akan mengimplementasikan e-governance sebagai upaya untuk mengurangi korupsi di birokrasi.
Namun, sejumlah pengamat menyebutkan kelemahan Jokowi adalah dia minim pengalaman memimpin di tingkat nasional dan hubungan internasional.
Halangan lainnya saat Jokowi memerintah, menurut pengamat, ialah sokongan di parlemen.
Koalisi Merah Putih di parlemen dinilai amat mungkin menghambat kebijakan-kebijakan penting Jokowi.
Meski demikian, titik cerah muncul tatkala Jokowi menemui pendiri Partai Gerindra, Prabowo Subianto, di Jakarta, pada 17 Oktober lalu.
Pengamat politik Yunarto Wijaya mengatakan hal itu sebagai "momentum pembuka" bahwa dalam pertarungan politik ke depan yang harus muncul "bukan politik balas dendam".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar