Survei capres kembali dilansir lembaga kredibel. Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) menyebut, mayoritas masyarakat beretnis Jawa lebih memilih Ganjar Pranowo dibanding capres lain. Dalam survei SMRC terbaru, Ganjar menang telak di kalangan santri, abangan, dan priyayi, mengalahkan Prabowo Subianto dan Anies Baswedan.
Hasil studi ini disampaikan dalam program ‘Bedah Politik bersama Saiful Mujani’ episode “Santri, Abangan, dan Pilpres 2024” yang disiarkan melalui kanal Youtube SMRC TV, Kamis (13/4) lalu.
Saiful menjelaskan, studi ini berdasarkan survei SMRC pada Maret 2023 dengan wawancara tatap muka. Respondennya berfokus pada warga beragama Islam dan bersuku bangsa Jawa. Dalam survei tersebut, muslim yang bersuku Jawa sebesar 45,3 persen dengan total sampel muslim Jawa sebanyak 230 orang. Responden dipilih dengan teknik multistage random sampling. Adapun margin of error kurang lebih sebesar 4,9 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen.
Hasilnya, ada 52,4 persen yang mengaku santri, 22,3 persen abangan, dan 1,4 persen priyayi. Ada 23,9 persen yang tidak menjawab. Saiful menjelaskan bahwa warga Indonesia yang beretnis Jawa sekitar 40 persen dari total populasi dan mayoritasnya adalah Muslim.
Lalu, apa hasilnya? Dari 52 persen santri muslim Jawa, sebanyak 60 persen memilih Ganjar. Sementara itu, sebanyak 20 persen memilih Prabowo dan 15 persen memilih Anies.
Di kelompok abangan pun Ganjar menang telak. Sebanyak 58 persen memilih Ganjar, Prabowo 11 persen, dan Anies 14 persen. "Sisanya sebanyak 16 persen tidak jawab,” kata Saiful.
Adapun di kalangan priyayi, Saiful melanjutkan, sebanyak 59 persen memilih Ganjar, 0 persen memilih Prabowo, dan 19 persen memilih Anies. Sebanyak 22 persen responden memilih tidak menjawab.
“Ganjar didukung oleh mayoritas santri, abangan, dan priyayi,” kata Saiful.
Dari data survei yang digelar pada Maret 2023 itu, Saiful menyimpulkan, jika perbedaan santri, abangan, dan priyayi dalam Pemilihan Presiden tidak penting. Pasalnya, ketiganya sama-sama dominan memilih Ganjar yang juga kader PDIP tersebut. "Ada memang warga yang menganggap dirinya santri, abangan, dan priyayi, tapi itu tidak punya efek berarti dalam perilaku memilih di pemilihan presiden,” kata dia.
Guru Besar Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Jakarta tersebut menjelaskan, tipologi priyayi, santri, dan abangan adalah konsep antropologis. Tiga tipologi masyarakat Jawa itu merupakan hasil penafsiran antropologi asal Amerika Serikat, Clifford Geertz terhadap gejala keagamaan Muslim di Jawa. Saiful menjelaskan, belakangan ada studi mutakhir tentang itu dan mengusulkan agar memperhatikan secara lebih serius konsep tipologi priyayi, santri, dan abangan. Katanya, konsep itu masih berguna untuk membantu menjelaskan perilaku memilih di Indonesia.
Saiful mengatakan, saat ini kalangan santri dominan. Berbeda saat di tahun 50-an. Saat itu, abangan yang dominan.
Saiful bilang, walaupun terjadi santrinisasi secara kultural, secara politik yang terjadi bukan politik santri. Saat ini, kalau memakai konsep lama tentang partai, di parlemen hanya ada dua partai yang eksplisit menyebut dirinya sebagai partai Islam, yakni PKS dan PPP. Gabungan keduanya hanya sekitar 13 persen. Sementara pada Pemilu 1955, gabungan Partai NU dan Masyumi sekitar 40 persen.
“Santrinisasi terjadi secara kultural dan sosial, tapi secara politik tidak. Secara kultural, masyarakat Muslim Jawa semakin santri, tapi soal politik, beda lagi.” jelasnya.
Saiful mencontohkan sekarang banyak kader PDIP yang memakai jilbab. Bahkan Ganjar yang sekarang populer menjadi calon presiden dan merupakan kader PDIP, juga nampak seperti santri. Istri Ganjar sendiri berasal dari keluarga santri.
“Terjadi sekularisasi politik, (di mana warga) mendiferensiasi wilayah politik dan agama. Orang, ketika memperjuangkan kepentingan publik, bicara lebih inklusif dan tidak eksklusif untuk kepentingan agama tertentu, tapi kepentingan warga negara. Tidak identik antara santrinisasi dengan politisasi atau santrinisasi politik,” lanjutnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar