Hari ini 53 tahun lalu, Putra Sang Fajar, Bung Karno, Presiden Pertama Republik Indonesia menghembuskan nafas terakhir pada 21 Juni 1970 di usia 69 tahun. Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Subroto menjadi saksi bisu detik-detik terakhir kehidupan Sang Proklamator.
Bung Karno wafat akibat mengidap komplikasi ginjal peradangan otak, jantung, dan tekanan darah tinggi sejak lama. Dalam buku berjudul “IR. Soekarno” karya Wahjudi Djaja, tertulis bahwa sakit yang diderita Bung Karno sejak Agustus 1965 semakin parah.
Akhir hidup Bung Karno dihabiskan dengan kesendirian di Wisma Yaso (sekarang Museum Satria Mandala) dengan status tahanan oleh Rezim Orba. Pengamanan terhadap Sang Proklamator diperketat. Alat sadap dipasang di setiap sudut rumah dan tak ada seorang pun yang boleh menjenguknya. Anak-anaknya hanya diizinkan menjenguk dengan waktu terbatas.
Kondisi setiap hari Bung Karno semakin memburuk, kesadarannya pun menurun pada Sabtu, 20 Juni 1970, pukul 20.30 WIB, dan mengalami koma keesokan harinya. Dokter Mahar Mardjono kemudian menghubungi anak-anak Sang Putra Fajar dan menyuruh mereka datang. Tampak Guntur, Megawati, Sukmawati, Guruh, dan Rachmawati hadir di rumah sakit pada hari Minggu, 21 Juni 1970 pukul 06.30 WIB.
Terjadi momen mengharukan, ketika Ibu Megawati menuntun membacakan Syahadat ke telinga ayahnya. Sebelum kalimat itu selesai, Bung Karno mengucap nama sang pencipta. “Allah…,” bisik Bung Karno pelan seiring embusan nafas terakhirnya.
Terdengar suara tangis pecah dari ruang kamar Sukarno pukul 07.07 WIB. Sang Proklamator telah menghadap sang pencipta dan berakhirlah tugasnya sebagai penyambung lidah rakyat.
Api Perjuangan Bung Karno Abadi dalam Sanubari
Warisi apinya, jangan abunya, selintas terdengar Bung Karno sedang menggemakan semangat api perjuangan. Dengan sedikit membayangkan, si Bung sedang mengepalkan tangannya ketika mengucapkan perkataan terkenal itu beberapa puluh tahun yang lalu. Meski ucapan tersebut telah berusia puluhan tahun, namun kandungan pesannya serta kobaran api perjuangan tidak dapat disebut “kadaluwarsa”.
Dalam artikel berjudul “Mencapai Indonesia Merdeka”, yang ditulis tahun 1933, Bung Karno dengan tegas mengatakan, “maksud pergerakan kita haruslah: suatu masyarakat yang adil dan makmur, yang tidak ada tindasan dan hisapan, yang tidak ada kapitalisme dan imperialisme”.
Dalam tulisannya itu, Bung Karno juga mempertegas bahwa Indonesia merdeka hanyalah “jembatan emas”. Artinya, kemerdekaan hanyalah “penghubung” antara perjuangan rakyat Indonesia dengan cita-citanya yang lebih tinggi, yakni masyarakat adil dan makmur. Hal ini, kemudian menjadi landasan PDI Perjuangan dalam mengawal serta memperjuangkan rakyat kecil “wong cilik” sebagaimana cita-cita Bung Karno.
Bagi penulis, ada dua hal penting dari warisan Bung Karno dan relevan untuk sekarang ini, yakni pemikiran atau ajaran dan proyek cita-cita politiknya. Ini penting untuk dikawal serta di aktualisasikan, karena yang penting dari historiografi seorang revolusioner bukan hanya soal perjalanan hidupnya, tetapi menyelidiki apa yang diwariskannya. Dengan begitu, sebagai “pelanjut angkatan” bisa memetik pelajaran darinya dan melanjutkan cita-citanya.
“Revolusi kita bukan sekadar mengusir Pemerintahan Belanda dari Indonesia. Revolusi kita menuju lebih jauh lagi daripada itu. Revolusi Indonesia menuju tiga kerangka yang sudah terkenal. Revolusi Indonesia menuju kepada Sosialisme! Revolusi Indonesia menuju kepada Dunia Baru tanpa ‘exploitation de l‘homme par l‘homme’ dan ‘exploitation de nation par nation,” Bung Karno.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar