Memangnya apasih enaknya jadi petugas upacara, selain bikin kulit gosong?” Seloroh teman wanitaku, yang terkenal akan ke-phobiaannya pada sinar matahari. Sangking takutnya ia pada terik matahari, ketika upacara berlangsung pun seluruh badannya ia balur dengan sun block sebotol.
“Jelas enak dong, selain menambah pengalaman, juga bisa membanggakan orang tua. Plus sebagai bukti kalo kita cinta NKRI,” timpalku dengan senyum manisku.
“Halah alasan, mana ada dapat pengalaman, yang ada seluruh kulit lu terbakar,” ucapnya ketus.
“Haduh, kalo kamu belum pernah bergabung jadi petugas upacara, yang nggak mungkin merasakan enaknya situasi waktu latihan. Kamu juga gak akan pernah merasakan nikmatnya kebersamaan yang terjalin didalam lingkup petugas upacara ini. Coba deh kamu ikutan jadi petugas, pasti statement negatifmu akan kamu tarik kembali.”
“Ah sudahlah, malas berdebat dengan orang seperti kamu. Dasar petugas upacara.”
Perbincangan pun berakhir, dengan menggantung. Lantaran temanku memilih untuk tidak menghiraukan nasihatku tadi.
Meskipun saat di sekolah, diriku kerap dipanggil dengan petugas upacara atau lebih tepatnya “petugas pembawa baki,” tak masalah. Sebab ketika dirumah dan di lingkungan sekitarku, karapan itu tak pernah terdengar lagi ditelingaku.
Ya, aku seperti anak-anak remaja pada umumnya. Yang ketika dirumah selalu menjadi anak berbakti kepada orang tua. Bisa mencintai dan di cintai oleh orang lain, ibarat kata aku layaknya ABG biasa yang tetap menjalankan keseharian serta kewajiban lainnya.
Berbicara seputar kosa kata “petugas,” diriku jadi teringat dengan sebuah diksi “petugas partai” yang kini marak berkelintaran dalam linimasaku. Sasaran tembaknya ialah Ganjar Pranowo, seorang politisi ulung dari partai PDI-Perjuangan.
“Gak minat nyoblos petugas partai.” Begitulah salah satu caption yang kerap terpasang dalam sebuah unggahan yang mereka sebarkan. Haduh, sepertinya orang-orang yang beranggapan demikian, hampir serupa deh dengan kawanku tadi. Sukanya berargument sepihak, tanpa pernah merasakan enaknya menjadi petugas.
Sepertinya perlu di luruskan deh, kalo menjadi petugas, baik upacara maupun petugas partai, itu tak semengerikan yang dibayangkan kok. Justru sebaliknya, menjadi bagian diantara banyaknya kumpulan petugas, membuat jalinan pertemanan serta wawasan semakin luas, karena bisa sharing satu sama lain.
Apalagi politik, behhh cakupannya semakin luas tuh. Karena selain bisa membangun relasi, berkutat dalam dunia politik juga bisa membuat kita mempelajari mengenai perkembangan suatu negara, mengajarkan tentang bagaimana hidup dalam bermasyarakat, dan masih banyak lagi faedah yang didapat ketika masuk dalam sebuah partai politik.
Ditambah lagi, jika bernaung dalam sebuah partai politik, bisa menjadi kendaraan bagi seorang “petugas partai” naik ke jenjang yang lebih tinggi dengan menjadi seorang pemimpin negara. Karena secara de jure, menjadi Kepala Negara harus menggunakan partai politik dan itu tidak bisa terbantahkan.
Meskipun berangkat dari seorang “petugas partai” yang dianggap seram, namun dari situlah seorang petugas partai mendapatkan pengalaman yang luar biasa hebatnya. Di dalam menjadi petugas partai, tapi saat diluar bertemu dengan masyarakat, bisa menjadi petugas rakyat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar