Menkeu Sri Mulyani Indrawati menyebut, Indonesia telah mampu
menjaga diri dari pandemi Covid-19 sejak kemunculannya pada awal 2020 lalu.
Terdapat
sejumlah indikator ekonomi yang mengalami perbaikan hingga awal tahun ini. Dia
menjelaskan, perbaikan tersebut di antaranya pertumbuhan ekonomi yang positif
hingga neraca perdagangan.
"Kita
patut mensyukuri bahwa Indonesia semakin mampu menjaga dari pandemi Covid-19
meskipun secara global masih ada beberapa negara yang masih mencoba
mengendalikan Covid-19 terutama Omicron," ujar Sri Mulyani.
Sri Mulyani
menambahkan, pertumbuhan ekonomi hingga kuartal I 2022 mencapai 5,01 persen.
Kemudian pada April 2022, neraca perdagangan Indonesia kembali mengalami
surplus 7,56 miliar dolar AS. Kondisi surplus ini sudah terjadi 24 kali
berturut-turut.
"Tentunya
ini akan menjaga ekonomi Indonesia melalui kinerja ekspor kita karena ada tren
kenaikan harga maupun pembelian ekonomi global akibat pandemi dan menggeliatnya
kegiatan ekonomi di Indonesia," kata dia.
Meski
begitu, Sri Mulyani mengingatkan agar Indonesia untuk terus waspada, karena
masih banyak risiko ekonomi global yang mengancam, salah satunya inflasi. Dia
mencontohkan, di banyak negara maju, seperti Amerika Serikat yang tingkat
inflasinya sudah sangat tinggi. Per April 2022, inflasi di negeri Paman Sam
mencapai 8,3 persen.
Naiknya
inflasi bakal memaksa negara-negara mengetatkan kebijakan moneter mereka, yang
berimbas pada kenaikan suku bunga acuan dan pengetatan likuiditas. Selain itu,
konflik Rusia-Ukraina yang belum reda juga mengancam pasokan komoditas dan
mengerek harga bahan pangan dan energi.
"Di
sisi lain, di RRT (Republik Rakyat Tiongkok/China), akibat Covid-19 maka
pemerintahnya melaksanakan zero case policy terhadap pandemi, yang artinya
lockdown atau pembatasan, dan ini sangat berdampak ke ekonomi RRT dan
dunia," ucapnya.
Menkeu Sri
Mulyani Indrawati menjelaskan tantangan perekonomian pada April 2022 sudah
bergeser. Dari pandemi Covid-19, kini tantangan perekonomian didominasi
kenaikan harga-harga, baik karena disrupsi suplai maupun tekanan geopolitik.
“Kenaikan
harga yang ekstrem ini menyebabkan pengetatan dari sektor moneter yang
menyebabkan suku bunga naik dan likuiditas yang ketat,” ungkap dia secara
daring, Kamis (26/5).
Ia menyebut
terdapat empat tantangan yang harus dihadapi dalam perekonomian Indonesia,
yakni inflasi tinggi, kenaikan suku bunga, pengetatan likuiditas dan
pertumbuhan ekonomi global yang melambat.
“Ini adalah
risiko yang harus jadi pusat perhatian kita untuk tahun ini dan tahun depan,”
terangnya.
Oleh karena itu, APBN tetap menjadi instrumen yang utama dan pertama di dalam melindungi ekonomi dan masyarakat. Ia menilai konsolidasi APBN menjadi suatu keharusan demi menjaga APBN yang sehat dan berkelanjutan.
“Karena
kalau tidak dalam situasi inflasi tinggi, suku bunga tinggi, likuiditas ketat,
dan pertumbuhan ekonomi lemah, APBN tidak boleh lemah atau harus segera sehat,”
ungkap Ani, panggilan akrabnya.
Adapun,
tiga fokus pemerintah pada tahun ini, pertama adalah menjaga pemulihan ekonomi
sehingga tetap terjaga momentumnya. Kedua, menjaga daya beli masyarakat dan
ketiga, menjaga kesehatan dan keberlanjutan APBN.
“Untuk itu,
kita akan terus bekerja sama dengan seluruh Kementerian Lembaga dan juga dengan
DPR agar APBN bisa terus terjaga dengan baik untuk bisa mendukung pemulihan
ekonomi, menjaga daya beli masyarakat, dan menjaga kesehatan APBN sendiri,”
pungkasnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar