Membaca hasil survei kepuasan rakyat kepada Presiden Jokowi, dan menghendaki Jokowi lagi yang diajukan pada pilpres berikutnya, maka jawabannya ada pada bunyi UUD 1945 pasal 7. Seandainya rakyat berkehendak, bisa saja bunyi Undang-undang dasar 1945 pasal 7 (tentang masa jabatan Presiden) dikembalikan ke naskah aslinya sebelum dilakukan amandemen. Namun kita yakin pula bahwa untuk menuju ke sana diperlukan proses politik yang rumit.
Dalam perspektif manajemen modern, sebuah peraturan tidaklah bersifat sakral seperti kitab suci, artinya sejauh diperlukan, aturan itu bisa dimodifikasi sesuai kebutuhan. Ada ungkapan bijak bahwa jika kita hendak melakukan perbaikan namun peraturan tidak memberi ruang, maka peraturan yang lebih tinggi yang harus mengakomodasi keinginan itu. Jalan paling mudah meskipun bukan cara ideal, adalah membuka kesempatan kepada sosok penerus yang sefrekuensi dengan Jokowi untuk mengawal visi “Indonesia maju”.
KETIKA Presiden Jokowi menyebut kriteria-kriteria calon pengganti dirinya sebagai Presiden, ia seperti berdiri di atas dua kaki, tapi masing-masing kaki berpijak di tempat berlainan. Jokowi sedang ingin bermain dua tarikan antara dirinya menjadi king maker Pilpres 2024, sekaligus mewujudkan warisan pemerintahan yang baik.
Mencari frekuensi politik yang sama Maka Jokowi berusaha “mempersiapkan” dan “memilih” calon dari kandidat yang masuk. Tentu saja Jokowi berharap bahwa pilihannya, setidaknya sesuai dengan visinya, dan ia merasa harus terlibat aktif sebagai pencetus terpilihnya calon pilihannya itu, sebagai pelanjut legacy pemerintahannya. Article
Jika memaksakan diri “menunjuk” dari kalangan elite partai, apalagi PDIP, tentu riskan. Maka pilihannya mau tidak mau adalah para calon independen atau calon yang memiliki partai, namun bergerak layaknya “lone wolf”. Sikapnya itu ditunjukkan melalui pernyataannya yang menyebut kriteria-kriteria pengganti dirinya sebagai presiden. Sebab, kalau Jokowi hanya berdiam pada satu posisi akan sulit untuk mendapatkan dua tujuannya yang terlihat bertolak belakang, antara menjaga keberlanjutan dan atau tetap membuka diri sebagai king maker dengan tujuan mempertahankan popularitas dan persepsi kinerja pemerintahannya.
Maka para pengamat seperti tahu kemana arah pilihan Jokowi ketika mengungkap kriteria capres harus mumpuni untuk menghadapi kondisi sosial ekonomi Indonesia. Jokowi menyebut, tokoh yang akan menggantikannya harus memiliki “jam terbang tinggi” dan “saling melengkapi.” "Ke depan itu memerlukan pemimpin yang, tidak hanya ngerti makronya, mikronya juga harus ngerti, tetapi memang harus mampu bekerja lebih detail, menguasai data dan lapangan, kemudian memutuskan," kata Jokowi.
Dari kriteria yang disebut Jokowi, kita cukup miris ketika yang muncul paling awal menawarkan dirinya meneruskan program Jokowi, justru sosok yang di level Provinsi saja gagal mempertahankan legacy Jokowi-Ahok. Tak mengherankan jika bermunculan sinisme kepada sang bacapres, Anies Baswedan, yang pada umumnya pesimis bahwa sosok ini menyanggupi meneruskan program-program populer Jokowi.
Mungkin Anies akan lebih diposisikan sebagai “gulma” politik yang harus selalu disiangi, agar kesuburan NKRI tetap terjaga. Jika gulma-gulma itu seragam seperti Anies, maka idealnya Anies digagalkan meneruskan posisi Jokowi, karena gulma tetaplah menjadi pengganggu, sebagaimana petani memperlakukannya tak lebih sebagai tanaman pengganggu.
Keputusan untuk menyetujui dan mengesahkan sosok yang paling layak memimpin Indonesia berikutnya, tentu saja ada di tangan pemilih. Apakah mereka ingin negeri ini seperti yang diproklamirkan 77 tahun lalu atau justru sebaliknya, berubah seperti yang diinginkan para pengusung negara khilafah?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar