Bakal Calon Presiden (Bacapres) Ganjar Pranowo merupakan sosok yang berpengalaman, bahkan pernah menjabat sebagai Gubernur Jawa Tengah dua periode. Bicara soal ketahanan pangan nasional, Ganjar mengungkapkan ada tiga strategi utama.
Dalam forum kebangsaaan di Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia (UI) beberapa waktu lalu, tiga strategi utama yang diungkapkan Ganjar untuk meningkatkan ketahanan pangan yang pertama adalah aktivasi birokrasi untuk memantau ketersediaan suplai dan permintaan.
Kemudian, menggenjot sentra produksi bahan pokok. Terakhir adalah menyeimbangkan neraca ekspor-impor pangan. Menurut Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas Santoso, Ganjar perlu menyusun program tersebut secara rinci.
"Siapa pun nanti presidennya memiliki tugas penting untuk menggenjot produksi pangan karena ketimpangan antara yang kita ekspor dan impor itu semakin melebar. Ada beberapa hal yang teramat penting yang jarang disentuh," kata Andreas dalam keterangannya, Senin (25/9/2023).
Saat menjadi Gubernur Jateng, pemenuhan kebutuhan pangan domestik memang jadi salah satu perhatian Ganjar. Bahkan, Ganjar sempat mengungkapkan di media sosial niat menjadikan Indonesia lumbung pangan dunia setelah menemani Presiden Joko Widodo (Jokowi) meninjau panen raya padi Ambal, Kabupaten Kebumen, Jateng, Maret lalu.
Dalam membangun kemandirian pangan di Jateng, apa yang dilakukan Ganjar terbilang berhasil. Bisa dilihat ada 282 desa mandiri pangan di provinsi tersebut. Bahkan, Jateng sempat menjadi lumbung padi terbesar nasional dengan produksi 9,65 ton gabah kering giling (GKG) pada 2019.
Peningkatan ekspor komoditas pertanian Jateng mencapai Rp8,3 triliun sepanjang 2020-2021. Capaian tersebut menjadi tertinggi dibandingkan provinsi lainnya di seluruh Indonesia.
Bahkan, ekspor komoditas Jateng sampai ke Mesir, Italia, Jepang, dan Korea Selatan. Hingga akhirnya mendapatkan penghargaan Abdi Bakti Tani Tahun pada 2021. Tren pertanian organik yang ramah lingkungan juga terjadi di Jateng saat era Ganjar Pranowo.
Tren tersebut berhasil melahirkan 33,7 persen petani dari kalangan milenial yang melek teknologi dari 3 juta petani yang ada di Jateng. Sementara itu, Andreas berharap, berbagai program yang disusun Ganjar membuat para petani terpinggirkan.
"Kalau petani dikorbankan ya sudah produksi pangan akan semakin menurun. Impor semakin lama akan semakin meningkat," kata Andreas.
Berbagai strategi yang dirancang perlu dielaborasi lebih rinci. Misalnya, soal menggenjot sentra produksi bahan pokok yang menurutnya belum ada presiden yang sukses menggenjot produksi sehingga membuat Indonesia memiliki kedaulatan pangan.
Salah satu indikasinya, menurut Andreas yakni impor gandum yang terus membengkak dari tahun ke tahun. "Total kebutuhan pangan kita sekitar 28% itu gandum. Perhitungan saya, di usia seratus tahun Indonesia merdeka, impor pangan kita hampir 50% nanti bisa tergantikan gandum," ujarnya.
Andreas menilai diversifikasi pangan ke gandum tak menguntungkan bagi masyarakat karena harga gandum semakin lama semakin mahal. Bisa dilihat hingga akhir kuartal II-2022, rata-rata harga gandum dunia berada di kisaran USD392,4 per ton atau setara dengan Rp5,8 juta.
"Pergeseran dari beras ke gandum persoalan serius yang harus diselesaikan. Di tahun 1970-an, persentase pangan gandum hanya 4 %. Tahun 2010 itu sudah 18,3%. Tahun 2021 kemarin itu sudah 28 persen," tuturnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar