Siti Atikoh, berdiskusi bersama kelompok wanita tani (KWT) di Kulon Progo, Yogyakarta. Kepada Atikoh, petani wanita curhat mengenai keberadaan tambang di pesisir Kulon Progo hingga ketidakjelasan harga bahan pokok.
Atikoh kemudian menanyakan mengenai kondisi harga bahan pokok di pasaran saat ini. Kepada Atikoh, Istiyanti mengakui saat ini harga beli tergolong bagus. Namun, beberapa dekade yang lalu, petani di Kulon Progo merasa hanya sebagai alat untuk konglomerat.
"Jadi ketika harga (bahan pokok) naik, Ibu menikmati?" tanya Atikoh.
"Kali ini menikmati Bu. Habis beberapa dekade kami merasakan sebagai alat bagi konglomerat, bagi para pemodal. Kita sebagai alat ancek-ancek mereka, alat produksi gitu," jawab Istiyanti.
Selain masalah harga pangan, Istiyanti yang merupakan petani holtikultura dan padi mengeluhkan adanya tambang di pesisir Kulon Progo. Padahal, dirinya hidup di daerah itu dari kecil sampai tua hingga memiliki keturunan.
"Kami mohon ruang hidup kami dirampas dengan penambangan biji besi di Kulon Progo yang tak menghasilkan buat negara. Kami merasa hanya diapusi (dibohongi). Mohon dicabut kontrak karyanya," kata Istiyanti.
Menurut dia, praktik penambangan itu memakan lahan pertanian. Istiyanti menganggap produksi pertanian lebih produktif dibanding pertambangan tersebut.
Dia juga mengharapkan jaringan listrik bisa masuk ke lahan pertanian. Menurut Istiyanti, pemerintah harus berpihak kepada rakyat, kalaupun tidak, maka jangan mengganggu kehidupan mereka.
"Kalau tak bisa dibantu, minimal jangan ganggu kami," tegas dia.
Merespons keluhan petani, Atikoh menyadari rendahnya harga beli komoditas pangan di tingkat petani karena panjangnya rantai ekonomi. Dia mengatakan perlunya formulasi baru untuk memangkas rantai tersebut. Atikoh menyampaikan visi-misi suaminya yang ingin menguatkan Bulog (BUMN).
"Ini kalau program Pak Ganjar ya, saya sedikit ngulik itu ingin memperkuat posisi Bulog. Agar stabilitas harga ketersediaan pangan itu benar-benar bisa pro kepada petani," jelasnya
Terkait kontrak karya tambang di lahan pertanian produktif, Atikoh mengaku akan mencatatnya lebih dahulu untuk dilaporkan kepada suaminya, Ganjar. Apabila Ganjar terpilih di Pilpres 2024, Atikoh berjanji isu ini akan dikoordinasikan dengan pihak terkait.
Menurut Atikoh, penting membahas isu ini dengan duduk bersama dan mendengarkan masing-masing pihak. Apabila memang pertambangan tersebut tidak produktif, maka lebih baik digunakan untuk pertanian.
"Ini kan pendekatannya berbeda. Kalau itu lahan milik pemerintah itu dapat rapat koordinasi. Terus peruntungannya buat apa? Kalau milik perusahaan mungkin kita bisa melakukan pendekatan itu dikontrak saja untuk lahan pertanin. Tetapi kalau milik perseorangan tentu kita juga harus menghormati yang memiliki lahan. Apalagi kalau di Jogja mesti nuwun sewu. Kebutuhannya apa sih dan apa saja nilai tambahnya kalau listrik itu bisa dibuka," terangnya.
"Saya tentu tidak bisa menjanjikan dalam waktu terdekat, karena saya bukan pejabat publik. Tapi saya punya pena untuk dicatat sebagai bahan aspirasi dari seluruh kelompok," imbuhnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar